Selain bicara mengenai UN, ibu guru cantik ketiga adik asuh saya juga mengeluhkan subsidi."Kami seharusnya mendapatkan bantuan Sekolah Gratis dari Dinas Prov sebesar 267 juta, tapi yang masuk ke rekening sekolah cuma 165 juta. Yang 100 juta gak tau kemana." Wah, kok bisa Bu? tanya saya. "Saya juga gak tahu. Padahal dalam laporan pertanggungjawaban, kami tetap harus melaporkan bahwa kami menerima 267 juta." Lho, kenapa begitu? tanya saya lagi. "Ya, daripada sekolah kami tidak mendapat bantuan lagi?"
Maksudnya? "Yang mengalami ini bukan hanya sekolah kami saja. Sekolah-sekolah lain juga. Kami tidak bisa protes, karena katanya kalo kita protes sekolah tidak akan dapat bantuan untuk seterusnya." Sekolah ketiga adik asuh saya memang tergolong sekolah kecil, hanya ada 2 atau 3 ruang kelas untuk kelas 10, 2 ruang kelas untuk kelas 11 dan 1 ruang kelas untuk kelas 12. Saya maklum bila si ibu tidak bisa berbuat banyak. Seperti saya bilang di tulisan sebelumnya, ibu guru cantik ini termasuk dalam sistem.jika si ibu berulah, kemungkinan besar yang rugi adalah sekolahnya sendiri. Makanya, beliau hanya bisa menahan diri saja melihat ketidakadilan dalam tubuh sistem pendidikan kita.
"Gara-gara janji subsidi 267 juta itulah, kami berani merenovasi sekolah sejak tahun lalu. Sekarang, tahap renovasi masih jalan. Tapi dananya kurang. Tidak mungkin kami meminta dana dari siswa. Sekolah gratis, kok narik biaya lagi. Jadinya kami berhutang pada bank, bagaimanapun renovasi sekolah harus tetap berjalan." cerita ibu cantik lagi. Sekali saya menanyakan kemungkinan untuk melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Tapi si ibu guru mengelak. "Kepala dinas saja tahu soal ini, tapi diam saja. Jadi memang sudah dari atasnya seperti itu mungkin."
Selain subsidi, hal yang paling saya cermati dari sekolah-sekolah gratis yang menjamur di Bandung adalah guru-gurunya. Guru-guru ketiga adik asuh saya jarang memberikan pengajaran yang selayaknya pada murid. Terbukti dari kemajuan belajar ketiga adik asuh saya. Banyak materi-materi pelajaran yang tidak mereka kuasai dengan benar. Fakta ini saya peroleh dari hasil les pemantapan Ujian Nasional yang kami lakukan 2 minggu belakangan. Dua adik asuh saya yang lain juga mengeluh karena guru-guru mereka jarang datang. Entah guru Matematika, Bahasa Indonesia, atau lainnya. Kalau pun mengajar, mereka hanya disuruh mencatat dan fotokopi materi pelajaran. Lantas, mengapa mereka masih harus dituntut lulus dalam Ujian Nasional?
Lalu, apa esensinya membuka sekolah gratis? Hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat kah? Kalau memang belum siap, mengapa harus dipaksakan? Adik-adik kitalah yang menjadi korban. Sama saja dengan kita menyia-nyiakan warga negara usia produktif kita dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan.
Maksudnya? "Yang mengalami ini bukan hanya sekolah kami saja. Sekolah-sekolah lain juga. Kami tidak bisa protes, karena katanya kalo kita protes sekolah tidak akan dapat bantuan untuk seterusnya." Sekolah ketiga adik asuh saya memang tergolong sekolah kecil, hanya ada 2 atau 3 ruang kelas untuk kelas 10, 2 ruang kelas untuk kelas 11 dan 1 ruang kelas untuk kelas 12. Saya maklum bila si ibu tidak bisa berbuat banyak. Seperti saya bilang di tulisan sebelumnya, ibu guru cantik ini termasuk dalam sistem.jika si ibu berulah, kemungkinan besar yang rugi adalah sekolahnya sendiri. Makanya, beliau hanya bisa menahan diri saja melihat ketidakadilan dalam tubuh sistem pendidikan kita.
"Gara-gara janji subsidi 267 juta itulah, kami berani merenovasi sekolah sejak tahun lalu. Sekarang, tahap renovasi masih jalan. Tapi dananya kurang. Tidak mungkin kami meminta dana dari siswa. Sekolah gratis, kok narik biaya lagi. Jadinya kami berhutang pada bank, bagaimanapun renovasi sekolah harus tetap berjalan." cerita ibu cantik lagi. Sekali saya menanyakan kemungkinan untuk melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Tapi si ibu guru mengelak. "Kepala dinas saja tahu soal ini, tapi diam saja. Jadi memang sudah dari atasnya seperti itu mungkin."
Selain subsidi, hal yang paling saya cermati dari sekolah-sekolah gratis yang menjamur di Bandung adalah guru-gurunya. Guru-guru ketiga adik asuh saya jarang memberikan pengajaran yang selayaknya pada murid. Terbukti dari kemajuan belajar ketiga adik asuh saya. Banyak materi-materi pelajaran yang tidak mereka kuasai dengan benar. Fakta ini saya peroleh dari hasil les pemantapan Ujian Nasional yang kami lakukan 2 minggu belakangan. Dua adik asuh saya yang lain juga mengeluh karena guru-guru mereka jarang datang. Entah guru Matematika, Bahasa Indonesia, atau lainnya. Kalau pun mengajar, mereka hanya disuruh mencatat dan fotokopi materi pelajaran. Lantas, mengapa mereka masih harus dituntut lulus dalam Ujian Nasional?
Lalu, apa esensinya membuka sekolah gratis? Hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat kah? Kalau memang belum siap, mengapa harus dipaksakan? Adik-adik kitalah yang menjadi korban. Sama saja dengan kita menyia-nyiakan warga negara usia produktif kita dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan.
No comments:
Post a Comment