Bagi gw pribadi..waria itu gender ketiga. Bukan seks (kelamin) ketiga, karena kelamin di dunia hanya ada dua: lingga dan yoni. Makanya mereka termasuk dalam transeksual.
Waria, hanyalah pribadi dengan dua hal berlawanan : kelaminnya pria, hatinya wanita.
Mereka berbeda. Untuk apalah memperdebatkan penyebab fenomena ini terjadi, karena keberadaan mereka tidak lagi dapat dipungkiri. Yang sedikit menggelitik ialah stereotipe negatif yang tak pernah lepas dari pandangan masyarakat terhadap mereka. Stereotipe ini mungkin hadir karena benturan agama dan norma, yang masih menolak kehadiran mereka. Namun, benarkah demikian?
Entahlah. Stereotipe negatif itu akan terus ada selama keran-keran diskusi dan kerangka pemikiran masyarakat belum berubah. Bukan lagi menghujat hal yang telah ada, melainkan menerima tanpa terpaksa. Cukup mengakui bahwa mereka ada, tanpa menghakimi mereka saja mungkin cukup untuk saat ini. Toh, hanya Tuhan yang berhak menghakimi umat-Nya.
Stereotipe negatif pun mungkin akan tetap melekat selama banyak waria tak jua beranjak dari dunia prostitusi. Maklum, masyarakat bangsa ini kan punya prinsip aneh: 'benci tapi cinta'. Biar benci prostitusi, tapi tetap doyan juga.
Bukan salah waria yang penjaja atau konsumen pria yang ketagihan, tapi dasar moral saja yang bobrok! Bagi gw, urusan waria yang masih praktek ini bukan semata urusan Departemen Tenaga Kerja saja yang tidak memperkenankan kata WARIA dalam iklan lowongan kerja. Tapi juga waria-waria palsu, yang jadi kemayu lantaran pengen ikutan trend. Waria palsu semacam ini pernah gw temui di Malang.
Berpakaian wanita, sok kemayu tapi kalau ngerokok tetap saja ke'jantan'an. Perilaku waria-nya pun terkesan dibuat-buat, tidak murni dari hati. Kalau hatinya wanita, gw yang betina ini pasti tahu 'kan? (kalau hatinya setan, yah..gw juga tau..hehe!)
Waria-waria palsu inilah yang seringkali membuat gw mengernyit. Kalau jumlah mereka semakin banyak, takutnya stereotipe negatif itu tidak akan juga lenyapp..,
Terlepas dari itu semua, hal yang patut kita pikirkan bersama ialah sebesar apa hati kita bisa menerima perilaku positif mereka??
Mungkin masyarakat tidak hanya butuh kontes putri-putrian untuk mengakui eksistensi waria. Mungkin kegiatan kemanusiaan dan sosial bisa 'berbicara' banyak. Yah, itupun kalau bisa diliput oleh media...syukur-syukur kalau jadi headline berita.
24.8.06
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment